Mengenal Sejarah Sigale gale Patung Arwah dari Tanah Batak

 


Sigale-gale, patung Arwah dari Tanah Batak

Bisa menari dan menjadi pelipur lara. Kearifan lokal berbalut nuansa mistik.

Rupanya menyerupai manusia. 

Pada tubuh yang mematung itu dipakaikan busana orang dewasa sementara bahunya diselempangkan kain ulos. Matanya memancarkan tatapan kosong. Namun, ketika alunan musik gondang berdentang, tubuhnya bergerak bak penari tortor yang piawai. 

Siapa saja yang melihatnya niscaya akan turut terbuai lantas ikut menari. Begitulah sosok Sigale-gale.

Namun, Anda tidak perlu takut terhadap Sigale-gale. Di belakang podium tempat Sigale-gale berdiri, ada seorang dalang yang mengendalikan gerakan Sigale-gale. Tarikan benang dalang yang tersembunyi itulah yang membuat Sigale-gale seolah menari sendiri.  

Dari cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, legenda Sigale-gale mengakar bersama masyarakat Batak sebagai kearifan lokal.

Dikisahkan, Sigale-gale bernama asli Manggale, putra tunggal dari seorang raja. Suatu ketika, Manggale gugur ketika bertempur melawan kerajaan seberang. 

Kematian Manggale menyebabkan dukacita mendalam bagi sang raja. Untuk menghidupkan kembali Manggale, seorang datu menyarankan raja untuk membuat patung yang menyerupai Manggale.

 Para pemahat terbaik di seantero kerajaan pun dikerahkan. Dengan kekuatan mantra para datu, patung Manggale itu bisa bergerak dan menari. 

Sang raja pun bungah kembali. Seluruh kerajaan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam menari bersama patung Manggale. 

  

Patung Sengketa

Versi lain tentang kemunculan Sigale-gale sarat dengan nilai adat dan tradisi Batak yang menjunjung betapa pentingnya keturunan. seorang ahli patung tersohor bernama Datu Panggana. 

Suatu ketika, Datu Panggana berhasil membuat patung berwujud seorang anak gadis dari kayu yang dipahatnya di hutan. Saat Datu Panggana terkagum-kagum menyaksikan hasil karyanya itu, datanglah pedagang bernama Bao Partiga-tiga melintasi hutan. 

Bao Partiga-tiga ternyata kagum dengan patung buatan Datu Panggana. Atas izin Datu Panggana, Bao Partigatiga mendandani patung itu dengan pakaian dan perhiasan dagangannya. 

Hari menjelang petang. Bao Partiga-tiga berusaha menanggalkan perhiasan dan pakaian yang melekat pada tubuh patung. Usahanya kandas, pakaian dan perhiasan tidak dapat lepas. 

Bao Partiga-tiga lantas pulang ke kampungnya dengan hati yang tidak ikhlas. Begitupun dengan Datu Panggana yang terpaksa meninggalkan hutan. 

Dalam benaknya, patung itu akan digotong keesokan hari dengan bantuan orang-orang sekampungnya. Namun, sebelum Datu Panggana tiba, pada pagi hari lewatlah seorang dukun tua bernama Datu Partaoar. 

Seperti Bao Partigatiga, Datu Partoar juga takjub dengan patung yang dilihatnya. Timbul niatan hatinya untuk menghidupkan patung tersebut. 

Dengan ramuan sakti sambil merapal mantra, Datu Partaoar membuat patung itu bergerak dan berlaku seperti manusia. Bukan main girangnya hati Datu Partaoar apalagi kerinduannya memiliki anak boru (putri) telah terpenuhi. 

Setibanya Datu Partaoar di rumah, kebahagiaan yang sama dirasakan sang istri pula. Pasangan suami-istri itu sepakat memberi nama si patung: Nai Manggale. 

Pada hari pasar dibuka, Nai Manggale diperkenalkan sebagai putri angkat Datu Partaoar. Setiap pasang mata terpana menyaksikan kecantikan Nai manggale yang pandai menari.

Berita tentang Nai Manggale tersiar kemana-mana, termasuk Datu Panggana dan Bao Partigatiga. Baik Datu Panggana, Bao Partiga, dan Datu Partaoar bersikukuh merasa memiliki Nai Manggale sebagai anak mereka. 

Ketiganya pun mengadukan permasalahan ini kepada raja. Namun, raja tidak kuasa memecahkan konflik kepemilikan tersebut. Raja menyarankan agar mereka mendatangi Aji Bahir-Bahir, sesepuh yang disegani karena kecerdasannya.  

Setelah mengamati duduk perkara dengan seksama, Aji Bahir-Bahir memutuskan bahwa ketiganya memang layak menjadi keluarga Nai Manggale. 

Datu Partaoar menjadi ayahnya, Bao Partiga-tiga menjadi iboto (abang), dan Datu Panggana menjadi tulang (paman). Status kekerabatan tersebut akhirnya diteima dengan lapang dada oleh semua pihak yang bertikai. 

Dengan demikian, ketika Nai Manggale kemudian dipersunting oleh Datu Partiktik, Bao Partigatiga dan Datu Panggana berhak mendapat bagian atas sinamot (uang mahar pernikahan).

Tahun-tahun berlalu. Nai Manggale dan Datu Partitktik hidup berumahtangga tanpa dikaruniai seorang anak. Kesepian membuat Nai Manggale jatuh sakit. 

Sebelum meninggal, Nai Manggale berwasiat agar pamannya Datu Panggana membuatkan patung anak laki-laki yang mirip dengan Nai Manggale. 

Lagi, Nai Manggale berpesan, hendaknya patung itu diberi nama: Sigale-gale. Dan sejak itulah, patung Sigale-gale sebuah patung kematian. Patung yang senantiasa dibuat bila seorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan,” 

Pagelaran upacara Sigale-gale selalu diiringi dengan musik gondang dan tari tor-tor. Upacara seperti itu, dinamai upacara papurpur sapata. 

Seperti halnya ritual tolak bala, upacara ini bertujuan agar keluarga atau kerabat yang ditinggalkan hendaknya selalu memperoleh keturunan, bukan seperti orang yang meninggal tersebut.     

Pada masa lampau, perhelatan ritual Sigale-gale digelar bagai pesta rakyat yang megah. Biaya yang dikeluarkan terbilang besar. Penyelenggaranya,  harus sanggup menjamin para keluarga dan undangan yang datang dari berbagai kampung.

Menurut kebiasaan di Toba, jika seorang meninggal tanpa keturunan lelaki harus diselenggarakan pesta kematian yang besar. Pada kesempatan itulah diadakan tarian patung Sigale-gale yang merupakan perwakilan dari orang yang meninggal. “Tujuannya sekadar meringankan kehidupannya yang malang di alam baka,” 

Namun, semenjak masuknya agama Kristen ke Tanah Batak, upacara Sigale-gale tidak lagi menjadi ritus yang dikultuskan. Kendati demikian, patung Sigale-gale tidak lantas lenyap. Kini, ia hanya menjadi sekedar pertunjukan hiburan yang mencerminkan budaya masyarakat Batak.

Komentar

Postingan Populer