Pohon sangkamadeha / Pohon Kehidupan Bagi Orang Batak
Sangkamadeha, diartikan sebagai pengekspresian hidup dan kehidupan manusia dalam dunia nyata dengan segala kebanggaan dirinya.
sangkamadeha merupakan penggambaran pohon kehidupan pemberian sang pencipta (Mulajadi Nabolon) kepada manusia.
Sejak muda hingga tua, pohon ini tumbuh tegak lurus dan tajuknya “sundung” (menuju) langit.
Hidup di dunia dalam pertengahan usia adalah perkembangan sangat subur dan optimal, berkaya-nyata untuk dirinya dan orang lain.
“Hasangapon, hagabeon dan hamoraon, adalah gambaran kesuburan yang dinikmati atas karunia sang pencipta.,
Biji berkecambah, tumbuh tunas, kemudian mekar. Dahan mengembang ke samping dan ke segenap penjuru angin, bagaikan tangan-tangan membentang (mandehai). Tumbuh makin matang (matoras) dan semakin kuat (pangko).
Dalam bahasa Batak, ”torasna jadi pangkona”, diartikan sebagai kedewasaan yang dibarengi kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjadi tabiat. Dalam kiasan (umpasa) Batak disebut “torasna jadi pangkona, somalna jadi bangkona”.
Menjelang ujur, tajuk semakin tinggi dan tetap menuju ke atas. Di masa tua, upaya pencapaian “sundung di langit” semakin terarah. Dari sana awalnya datang, di sana juga berakhirnya. Inilah akhir hidup manusia. Semua menuju ke penciptanya.
Perjalanan kehidupan manusia diakhiri, dan “sundung” ke alam penciptaan. Semua yang diperoleh di alam nyata, dunia fana, akan ditinggalkan.
kebanggaan terpuji adalah tabiat yang baik dan benar, sesuai hukum dan adat istiadat. disebut sebagai “hasangapon”.
Cabang dan ranting yang banyak akan mempengaruhi kerimbunan dedaunan. Akar yang kokoh dan kerimbunan daun (hatoropon) sebagai gambarannya.
Banyaknya populasi, disebut “hagabeon”.
Buah adalah biji disertai zat bermanfaat untuk pertumbuhan dan stimulant kepada mahluk hidup untuk menyebarkannya. Ada buah, ada manfaat dan ada pertumbuhan. Inilah yang disebut “hamoraon,
“Parjuragatan”, mengartikan tempat bergelantungan ke sumber penghidupan. Sumber penghidupan ada beragam, seperti apa yang diberikan secara langsung (material) dan tidak langsung (non-material).
Pemimpin adalah “parjuragatan”, di mana ditemukan keadilan dan pencerahan.
Dia adalah “urat” (akar) hukum dan keadilan. Orang kaya (namora) adalah “parjuragatan”. Karena akar, memberi kehidupan material, penyambung hidup,
Kekayaan dengan `banyaknya buah`, bila tidak ada manfaat bagi orang lain, tidak akan ada yang berperan `menaburnya`.
Dia akan seperti ilalang yang menebar biji oleh tiupan angin karena tidak ada memberi manfaat dari buahnya bagi mahluk lain.
Kekurangan harta disebut “napogos” (miskin). Bila hartanya hanya cukup untuk bekal satu tahun disebut “parsaetaon” (pra sejahtera).
Bila sudah bisa menabung untuk cadangan pengembangan disebut “naduma” (sejahtera). Bila harta sudah menumpuk disebut `paradongan”.
“Namora” adalah sebutan kehormatan untuk yang aktif menolong sesama dengan harta bendanya sendiri. Jabatan ini, juga disandang dalam “harajaon” yang diartikan sebagai bendahara.
Kepada Raja dan “namora” disebut akar dari hukum dan kehidupan.
“Raja urat ni uhum, namora urat ni hosa”,
Bila ada orang yang memiliki banyak harta, tapi tega membiarkan manusia di sekitarnya kelaparan, dia tidak dapat disebut “namora”, tapi “paradongan” atau “pararta.
Jika seseorang bermohon kepada Yang maha Kuasa “hamoraon”, jabarannya adalah harta benda, berikut hati yang iklas untuk mau dan mampu melakukan pertolongan kepada sesama manusia.
Ada yang membedakan “hau sangkamadeha” dengan hau parjuragatan dan hau sundung di langit.
Menurut penjelasan beberapa orang tua dan pandai mengukir (gorga), bahwa penggambarannya adalah satu, tapi penjelasannya beragam.
Banyak yang memitoskan sebutan itu seperti pohon yang tumbuh di alam penciptaan, sehingga banyak yang tidak memahami pemaknaan beberapa perkataan itu dalam satu penggambaran.
Pada rumah “gorga” lama, gambaran “hau sangkamadeha” ini selalu dilukiskan dalam dinding samping agak di depan. Dalam penggambarannya kadang ada yang menyertakan gambar burung dan ular membelit.
Kayu yang berbuah selalu dihinggapi burung pemakan buah. Ular pun datang ke pohon itu, untuk memangsa burung (marjuragat). Semua mahluk berhak hidup, seperti manusia diberi hidup, menjadi bagian dari ekosistem.
Namun, dari semua mahluk yang “marjuragat” dalam pohon hidup, hanya manusia yang memahami “sundung di langit”.
https://youtu.be/BNOq3msuj04
Ada pemahaman lain yang dijelaskan, bahwa dalam menjalani hidup harus cermat dan teliti karena banyak musuh yang mengintip.
Banyak filosopi yang dapat dimaknai dari sangkamadeha yang mengambarkan posisi kita sebagai orang batak. Apakah terkategori napogos parsaetaon,naduma, paradongan dan `namora/harajaon.
https://youtu.be/BNOq3msuj04
Komentar
Posting Komentar